Soal Suami Perkosa Istri, Contoh Kasus Pamen TNI Ini

Gambar Ilustrasi sebelas12.com


Jakarta - Publik terkejut dan kaget karena RUU KUHP akan memenjarakan suami yang memperkosa istrinya. Padahal, aturan itu telah ada dalam UU Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) 15 tahun lalu. Mengapa tiba-tiba RUU KUHP ditolak?

Berdasarkan putusan yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Minggu (29/9/2019), kasus 'suami perkosa istri' itu bukan isapan jempol. Salah satunya dilakukan oleh perwira menengah (Pamen) TNI inisial B.

B menikah L pada tahun 90-an. Hubungan mereka awalnya bahagia. Namun saat B mulai naik pangkat, kerap berlaku kasar. Ia tidak sungkan mencaci maki istrinya sendiri. Tidak hanya itu, B juga kerap menggauli istrinya dengan kasar.

Tidak tahan dengan perlakuan suaminya, L melaporkan suaminya ke pimpinannya. Akhirnya B diadili di Pengadilan Militer.

Pada 6 November 2017, Pengadilan Militer III Surabaya menjatuhkan hukuman 11 bulan penjara kepada B. Hukuman ini dikuatkan Pengadilan Militer Utama Bandung pada 30 Januari 2018. Duduk sebagia ketua majelis Laksma TNI Bambang Angkoso W SH MH dengan anggota Laksma TNI Dr Sinoeng Hardjanti SH MHum dan Brigjen TNI Joko Purnomo SH MH.

B dinyatakan bersalah melakukan kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya. Selain itu, B juga dinyatakan melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga. B tidak terima dan mengajukan kasasi. Apa kata MA?

"Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi," demikian bunyi putusan MA, Minggu (29/9/2019).

Duduk sebagai ketua majelis kasasi yaitu hakim agung Andi Abu Ayyub Saleh dengan anggota hakim agung Dudu Machmuddin dan hakim agung Hidayat Manao. Dalam pertimbangannya, majelis kasasi menilai B telah salah melakukan kekerasan seksual terhadap istrinya.

"Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan Oditur Militer Tinggi," ujar majelis dengan suara bulat.

Nah, dalam RUU KUHP, materi pasal di UU PKDRT kemudian dikodifikasi menjadi pasal pemerkosaan.

"Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun," demikian bunyi Pasal 479 ayat 1.

Dengan definisi di atas, maka bisa saja seorang suami memperkosa istrinya. Dengan syarat yaitu si istri sedang tidak mau berhubungan badan dan si suami melakukan kekerasan.

Dalam catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2018 yang dibuat Komnas Perempuan, kasus marital rape sudah ada dasar hukum dalam UU PKDRT, namun masih minim dilaporkan. Setidaknya terdapat 4 kasus yang dilaporkan ke KP, dan hanya 4 kasus yang ditangani Pengadilan Negeri (PN). Namun yang ditangani oleh Pengadilan Agama, belum terdata secara eksplisit.

"Marital rape dalam perspektif korban adalah kekerasan terhadap istri dalam bentuk persetubuhan paksa dengan cara tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan. Data yang dicatat Komnas Perempuan adalah pemaksaan hubungan saat menstruasi, memaksa berhubungan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan merusak kesehatan produksi," demikian laporan Komnas Perempuan 'Korban Bersuara, Data Bicara: Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara'," demikian hasil temuan Komnas Perempuan.

Namun, jelang pengesahan RUU KUHP, para mahasiswa bergelombang melakukan aksi menolak RUU KUHP tersebut. Akhirnya, RUU KUHP yang telah dibahas sejak tahun 80-an itu ditunda pengesahannya. (detik.com)

Editor: Bambang
Link Sumber: 
https://m.detik.com/news/berita/d-4726474/soal-suami-perkosa-istri-contoh-kasus-pamen-tni-ini?single=1

Postingan Populer